Surga di Telapak Kaki Ayah

>> Wednesday 15 June 2011


Ayah sering membuatku terpesona tiap kali berbincang dengannya.
Kata-katanya tak puitis, tapi penuh kejutan. Tiap celetukan Ayah seringkali diluar dugaan. Kadang bijak, tapi tak jarang juga canda tawa keluar dari mulutnya yang tak tersentuh kopi dan rokok itu.”

“Ayah pernah bilang kalau Ayah tak pandai berkata-kata. Ayah paling malas jika diminta untuk berbicara di depan khalayak ramai. Maka, melalui buku ini, aku ingin berbagi tiap kata Ayah yang menurutku menarik dan mengandung hikmah. Jadi, Ayah tak perlu malu untuk berbicara di depan umum lagi karena Kumpulan Kisah Tentang Ayah ini akan mewakilinya.”


{ي ا و ا ل د ي}


Ayah dan Ibu adalah dua sosok yang berperan dalam kehidupan kita. Meskipun keduanya atau salah satunya telah tiada maka sosok mereka akan senantiasa hidup dalam memori dan jiwa sang anak. Tatkala mereka masih berada di sisi kita, betapa keduanya begitu kuat mempengaruhi perjalanan hidup dan kehidupan jiwa kita. Berjuta-juta kasih sayang mereka merah merona pada wajah kita. Berjuta-juta kasih sayang keduanya bak salju yang turun membasuh dan melumuri tubuh kita. Cantik, sejuk dan elegan. Maka bayangkanlah raut wajah keduanya. Guratan raut wajahnya yang membekas dan membayangi kita. Baik di saat kebersamaan itu masih ada maupun ketika mereka telah tiada. Maka biasanya hati yang keras membatu seketika luluh begitu saja tatkala bayangan keduanya hadir di pelupuk mata. Membayangkan sorot mata keduanya yang teduh seketika membuat tulang belulang kita bergetar. Persendian menjadi lunglai lalu terduduk sambil berderai airmata.

Ada banyak ekspresi untuk mengungkapkan kerinduan sang anak terhadap mereka. Ekspresi itu bisa tertuang dalam secarik kertas yang melukiskan kerinduan, kehangatan dan kasih sayang. Secarik kertas itu bisa berupa rangkaian cerita pendek, novel atau bahkan sebuah lagu. Maka apapun bentuk ekspresi itu, sang anak berharap kerinduan itu terlunaskan dan tersampaikan meski tak terdengar secara ragawi karena terhalang oleh ruang dan waktu. Lukisan kerinduan yang membuncah dalam dada sebagai pesan kepada Tuhan, “tolong sampaikan rinduku padanya.”

Apa yang dituangkan oleh penulis merupakan ekspresi cinta. Cinta kepada sang Ibu dan cinta kepada sang Ayah. Dan kini, cinta itu ‘hanya’ terwakilkan kepada sang ayah, karena sang ibu telah tiada. Dan tentu saja, ini pun ekspresi cinta kepada sang ibu. Apapun jua. Karena sosok ibu tak kan pernah tergantikan. Sepanjang hayat, sepanjang masa.

Keagungan inspirasi. Hm, memang begitulah adanya. Dorongan kuat yang menjadikan para penulis senantiasa mengambil inspirasi dari orang-orang terdekat mereka, terutama dari Ibu dan Ayah. Sebagaimana goresan Andrea Hirata dalam buku “Sang Pemimpi”, buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi:
“Untuk Ayahku Seman Said Harun, Ayah juara satu seluruh dunia.”
 Lihatlah juga tulisan Ahmad Fuadi yang tergurat dalam buku “Negeri 5 Menara”:
“Untuk yang mulia Amak dan Ayah yang telah ‘memaksa’ anaknya untuk masuk pondok. Awalnya sebuah keterpaksaan tapi lalu menjadi kesyukuran.”
Begitu juga bagi Iwan Setiawan yang mempersembahkan kenangannya dalam buku “9 Summers 10 Autumns”:
“Untuk Ibuk, untuk Bapak.”

Ibu dan Ayah. Sosok wanita dan lelaki yang telah hadir dalam kehidupan kita, dan bersedia untuk menjadi orangtua bagi kita. Karena itulah sang penulis berusaha sekuat-kuatnya merekam jejak kebersamaannya dengan sang Ayah, ketika kenangan bersama sang ibu telah terlewati oleh sang waktu. Meskipun sebentar saja. Meskipun tidak semua tertuang dan terungkap melalui pena, itu semua sudah lebih dari cukup ‘tuk katakan, “Aku menyayangimu, Ayah.”

Nanti, saat sang anak telah dewasa, maka kebersamaan dengan mereka akan terasa begitu lekat. Maka, jenak-jenak kehidupan bersama mereka akan selalu teringat dan dirindukan selamanya. Dan kasih sayang itu takkan tergantikan dengan apapun. Maka, terinspirasilah kita dengan sang ibunda, maka terinspirasilah kita dengan sang ayahanda. Seolah-olah sosok mereka hadir di pelupuk mata, tiap kali kenangan itu muncul dalam diri kita.

Penulis ingin berbagi dan bercerita, kasih sayang itu bukan utopia. Bukan sekedar kata-kata. Karena lembutnya hati mampu menjadikan setiap peristiwa sangat berarti. Sang ayah tak pernah berkata-kata kasar padanya. Maka tatkala ada orang lain yang menyemprotkan sumpah serapahnya, jiwanya damai. Dan tanpa sadar airmatanya menetes. Ia menangis. Kedamaian itu tak menjadikan ia membalas kekasaran dengan kekasaran.

Ketidaksempurnaan itu ada pada manusia. Kita bukan pencipta. Dan sosok sang ayah memahami ketidaksempurnaan itu. Sang ayah hanya berusaha agar anak-anaknya tumbuh baik dalam lingkungan keluarga. Maka, bermain kartu adalah tabu, meskipun ‘cuma’ mengisi waktu.

Siapa bilang ‘obrolan’ itu sia-sia. Coba tanyakan pada penulis buku ini. Sederet kalimat obrolan hanya akan menjadi bincang-bincang biasa tanpa ruh, bila ia hadir tanpa prinsip yang kokoh. Pembahasan tentang pernikahan, hewan-hewan piaraan dan memenuhi janji pada orang lain, akan sangat kuat terekam bila prinsip dan kesungguhan itu menjadi pilar yang tersusun kokoh dan ajeg. Seberapa besar komitmen kita pada orang lain, maka biasanya sebesar itu pula kesungguhan kita padanya. Oleh karena itu janji hanya sekedar janji belaka, tanpa ekspresi, padahal waktu terus berlari.

Pulang malam bagi sebagian orang-orang adalah biasa. Tapi tidak demikian baginya. Ini bukan perkara biasa. Bukan karena kau hanyalah seorang wanita. Tapi lebih karena ayah ingin memuliakanmu, Nak. Ayah ingin kau beranjak dewasa dengan pemikiran sebagai seorang ibu yang tengah mengasuh anak-anaknya. Kalaulah tidak saat ini, maka anak-anakmu yang akan mewarisi kearifan pemikiran dirimu. 

Nak, jangan kotori paru-paru serta rumahmu dengan merokok. 
Dan, siapkanlah dirimu untuk menjadi pendamping setia bagi pasanganmu kelak. Cintailah pasanganmu dengan sepenuh jiwa. Karena cinta itu sebuah anugerah maka curahannya pun datang dari Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa. Mungkin begitulah petuah sang ayah kepada penulis.

Kenangan bersama ayah meskipun ‘hanya’ sehari akan memberi inspirasi setiap hari. Karena ketulusan itu sangat terasa pada jenak-jenak  yang tertinggal. Seperti suasana perjalanan menjelang malam dalam kereta. Sarat inspirasi. Cukuplah kenangan itu menjadi tanda bahwa ia menyayangiku.

Tatkala taman dan wewangian surga terasa dekat begitu nyata, apalagi yang kau pikirkan? Segeralah bergegas tuk menyongsongnya. Jangan bergeming terlalu lama. Tatkala Kanjeng Nabi SAW menyebut tiga kali berbakti kepada sang ibu, bukan berarti seketika pupus jika ia tiada. Sang ayah adalah pemilik terakhir penyebutan itu, meski hanya satu kali. Penulis tidak sedang mengeluarkan ‘hadits’ baru, tidak pula tafsir baru. Curahan hati pada sang ibu, terwakili pada ayah tercinta dan tergoreskan pada satu tema: Surga di Telapak Kaki Ayah.

Pada sosok pria bertubuh gembul itu. Yang tak ditemukan guratan kesedihan di wajahnya. Dan selalu melayangkan senyuman terbaiknya. Maka oleh sang penulis buku ini dipersembahkan untuk sang ayah sebagai, “Sebuah Kado untuk Ayah …”


***Tak ada gading yang tak retak
Sebagai sebuah awal yang bagus untuk menjadikan buku sebagai sebuah tulisan dan bacaan bernas, membangun dan cerdas. Maka tak ayal, tulisan dan bacaan seringan apapun akan menambah bobot si pembaca dalam membentuk pola pikir dan tingkah laku. Bertindaklah dewasa dan anggun agar kelak anak-anak kita tak berkilah bahwa ‘sang terdahulu’ tidak meninggalkan jejak kebaikan sedikitpun.
Selamat membaca dan menikmati petualangan ‘hikmah’ dalam buku ini.

Read more...

ONLINE

Powered By Blogger

About This Blog

Lorem Ipsum

Our Blogger Templates

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP